Example floating
Example floating
Opini

Tidak Ada Kawan yang Abadi yang Abadi Hanya Kepentingan

×

Tidak Ada Kawan yang Abadi yang Abadi Hanya Kepentingan

Share this article

Oleh: Abu Rery (Praktisi Pendidikan)

Sebagai anak bawang yang suka mengamati bapak-bapaknya bicara dan berdebat politik, yang kadang keras, penuh emosi dan kadang-kadang juga sering bersepakat dalam beberapa hal, membuat saya harus banyak berefleksi, memang begini ya politik itu? Saya tahu betul Pemilihan Presiden 2014-2019. Jokowi saat itu berpasangan dengan Yusuf Kalla, melawan Prabowo-Hatta Rajasa, dua bapak-bapak yang suka saya amati ini mendukung Jokowi, mereka kompak. Tidak bertikai bahkan saling mendukung.

Pemilihan kedua, mereka masih tetap menjadi Projo yang tetap santai dan banyak mengkampanyekan program-program yang mereka rasakan pada periode Jokowi pertama. Bagi mereka, Jokowi sudah memberikan banyak hal untuk kehidupan mereka, mulai dari Kartu Indonesia Sehat (KIS), yang kalau sakit tidak perlu keluarin uang cukup ke rumah sakit, nunjukin kartu itu, biayanya ditanggung pemerintah. Lalu Kartu Indonesia Pintar (KIP), yang dengan nunjukin kartu itu masyarakat dengan mudah dapat memberikan pelayanan pendidikan yang gratis. Periode-periode itu mereka berkawan sangat akrab.

Sampai pada pemilihan tahun ini, rasanya sulit bagi mereka berdua, kedua bapak-bapak ini berseberangan, mungkin karena Jokowi, presiden yang mereka idolakan tidak maju. Yang satu memilih Paslon nomor 2 yakni Prabowo-Gibran, seperti para Projo yang lain. Bapak tetangga lebih memilih paslon nomor 3 yakni Ganjar-Mahfud. Alasan mereka cukup masuk akal untuk diri mereka masing-masing.

Bapak yang memilih nomor 2 Prabowo-Gibran punya alasan yang kuat, karena anak junjungan beliau di sana, yakni Gibran, belum lagi didukung oleh keluarga Jokowi mulai dari adiknya Gibran yakni Kaesang yang menjabat sebagai ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI), ipar Gibran, Bobby Wali Kota Medan ditambah dawuh dan persetujuan Jokowi dan Ibu Iriana, menambah beberapa alasan beliau untuk mendukung Prabowo yang sudah kalah 2 kali saat maju pada pemilupres.

Selain alasan dukungan keluarga Jokowi, si pertama bapak ini mendukung Prabowo-Gibran, karena Prabowo punya tagline melanjutkan apa-apa yang sudah dibuat Jokowi pada dua periode kemarin mulai dari membangun Ibukota Nusantara (IKN), sampai tetap bertahan dengan berbagai kartu sakti dan penambahan beberapa kartu tersebut, membuat alasan beliau semakin kuat untuk mendukung Prabowo-Gibran.

Berbeda dengan kawan lamanya, bapak kedua memilih untuk berubah haluan menjadi Ganjaris keras, dia, dawuh ibu Mega adalah jalan yang harus dilaksanakan, petuah beliau adalah yang harus didengar. Selain itu, dia Gibran itu hanya alat untuk Prabowo bisa berkuasa, mendapat suara dari istana dan dapat suara dari pendukung Jokowi Mania, alasan bapak ini memakai ungkapan beberapa pengamat yang sering dia nonton di tv “Gibran itu, hanya banserep, untuk kuasa Prabowo” titahnya pada bapak yang mendukung Prabowo Gibran.

Selain itu, beliau mendukung Ganjar-Mahfud, karena cacat etikanya Prabowo-Gibran, menurut si bapak, lolosnya Gibran sebagai wakil Prabowo itu, kontroversi. Umur yang belum cukup, memimpin Solo yang belum lama (2 tahun) menjabat sebagai wali kota dan memanfaatkan paman dalam putusan MK itu cacat etika.

Bagi beliau tidak masalah orang muda maju, asal sudah matang dalam memimpin. Bahkan sangat berharap Gibran bisa maju, tapi bukan sekarang nanti di pilpres yang akan datang. Namun usahanya untuk tetap maju di tahun ini, karena beliau anak muda ini belum cukup matang. Sehingga bapak berdua ini seringkali berantem kalau sudah ketemu dan bahas pilpres.

Homo Homini Lupus.

Homo Homini Lupus, maksudnya manusia itu sering menjadi serigala bagi sesamanya, itu yang saya rasakan akhir-akhir ini ketika melihat mereka saling jumpa lalu berdebat dengan saling “memakan” antara satu dengan yang lain. Politik itu memang keras, yang kemarin adalah teman, suatu hari bisa jadi musuh. Yang musuhan hari ini bisa jadi bakal berteman untuk hari esok. Beberapa pengamat sering mengatakan kalau dalam politik itu tidak ada kawan ataupun lawan yang abadi, yang abadi hanya satu yaitu kepentingan masing-masing.

Kepentingan-kepentingan itulah yang kemudian membuat mereka bersepakat dalam beberapa hal dan menurunkan ego soal perbedaan mereka dalam beberapa hal. Misal dalam sebuah pertemuan di salah satu televisi, saya selain suka melihat kompleks bapak-bapak berdebat, saya juga suka menonton beberapa politikus mendebat lawannya masing-masing.

Semisal dalam salah satu acara debat di tv nasional, berjumpanya Mustafa Nahra sebagai pendukung Anies-Imin (Amin), lalu ada Eko Kunthadi pendukung Ganjar-Mahfud (Gamud).

Dalam beberapa kesempatan dua orang ini saling bersitegang dalam beberapa hal, bukan saja pas saat tampil di tv namun saling berdebat melalui akun X masing-masing. Tetapi, di malam itu mereka seperti saling mendukung satu dengan yang lain, walaupun pilihannya berbeda. (Mungkin punya Musuh yang sama). Bukan hanya pada Nahra X Eko Kunthadi.

Hal yang berbeda justru terjadi antara Denny Siregar dan Abu Janda, dua sejoli yang sering nongol di Cokro Tv dan sering tampil dan mendukung argumen masing-masing pas lawan Habib Novel atau Babe Haikal, namun saat Pilpres kali ini mereka saling mengungkap aib-aib yang tidak semua orang tahu. Ya itulah Pilpres, tahun-tahun lalu bisa jadi sama dukungan sehingga saling mendukung argumen masing-masing. Namun saat berbeda bisa saling sanggah bahkan mendebat dengan keras.

Kawan dan Lawan Tidak Abadi. 

Menurut Prof Mahfud: “Karena ini soal kekuasaan maka berlaku dalil tidak ada kawan atau lawan yang abadi dalam politik. Yang kemarin musuh, sekarang kawan, yang kemarin kawan menjadi lawan, politik itu memang begitu wataknya,” ucapan beliau ini sepertinya mengkonfirmasi yang saya amati dan tulis di atas.

Kita bisa lihat Denny Siregar dan Abu Janda itu kawan yang saling bersepakat kalau berdebat dengan Babe Haikal ataupun Habib Novel, namun begitu berbeda pilihan Denny tetap di Ganjar dengan dawuh Ibu Mega, lalu Abu Janda berbelok haluan dengan mendukung Prabowo mereka bisa saling serang antara satu dengan yang lain dalam menyajikan baik itu di media sosial maupun di tv-tv.

Atau semisal Eko Kunthadi dan Musthofa Nahra, mereka bermusuhan dalam beberapa kali berdebat, namun saat mengetahui kepentingan mereka sama yakni berharap Prabowo tidak menang, ya mereka bersatu dan kemudian saling mendukung Indonesia dan ini yang terjadi pada politik kita hari ini. kawan itu lawan atau lawan itu bisa jadi kawan. Aneh memang tapi beginilah politik Indonesia.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?, kalau dalam agama bilang “benci seperlunya cinta juga sewajarnya.” Sebab kadang kalau kita sudah cinta sama salah satu paslon bisa tidak pakai hati dalam membimbing, bicara jadi serba salah dan tindakan kita juga jadi tidak sehat. Sementara kita saling maki-maki di bawa berdebat habis-habisan bahkan keluar dari grup WA hanya karena pilihan yang berbeda, sementara pas habis pilpres paslon-paslonnya saling rangkulan ke istana. Sudah cukup Pilpres 2019 yang membuat kita jadi kecewa, maka sehat-sehat saja dalam mendukung pilihan masing-masing.

Hari Kasih Sayang dan Pilpres.

Sebab nanti memilihnya di tanggal 14 Februari 2024, yang identik dengan hari kasih sayang, harapannya, habis pilpres, semuanya jadi rangkulan lagi. Bapak-bapak kompleks jadi saling berteman lagi, ngopi, kartu utama sambil ngerokok lalu bicara soal mau kayak bagaimana kompleks kita ke depan. RT-nya mau rasa Anies, Prabowo atau Ganjar. Bicaranya udah gak nada-nada tinggi lagi, jadi ya biasa-biasa saja. Setelah itu tidak ada lagi permusuhan yang ada justru ditaburi kasih sayang.

Eko Kunthadi tetap berteman sama Musthafa Nahra, Abu Janda dan Deni siregar berteman lagi tapi tidak musuhan juga sama Babe Haikal dan Habib Novel, toh pilihan Abu Janda sama dengan Babe Haikal, Habib Novel katanya Paslon nomor urut 1 mau berhubungan dengan paslon nomor 3, masa habis pilpres saling berantem lagi. Harusnya tambah saling sayang.

Sebab 14 Februari itu hari kasih sayang, makanya KPU memilih tanggal itu mungkin, supaya pilpres kita tidak panas, namun adem dan saling menyejukkan. Berbeda dengan pilihan itu hal wajar, saling debat juga hal wajar namun yang tidak wajar jika pilpres sudah habis kita justru masih saling tidak senang antara satu dengan dua, dua dengan tiga. Lagi-lagi mari belajar dari Pilpres 2019, sudah cukup rasa kecewa kita. Semoga Pilpres kita berakhir dengan Mandalih (Aman dan Terkendali). Semoga!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *