Perspektifmaluku.com- Anggota DPR-RI, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Saadiah Uluputty menyebut Regulasi yang di susun Negara Indonesia telah merugikan Provinsi Maluku.
Hal ini dikarenakan Maluku sebagai daerah dengan luas wilayah 92 persen terdiri dari lautan yang memiliki kandungan sumber daya perikanan sebesar 2,7 juta ton/tahun tidak dapat menjadikan sektor kelautan dan perikanan sebagai tumpuan pembangunan ekonomi daerah akibat regulasi yang diatur Negara.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 hanya mengatur wilayah pengelolaan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 ayat (3) di mana kewenangan pengelolaan laut Daerah Provinsi diatur paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan.
“Dari sektor laut, Undang-undang nomor 23 tahun 2014 itu Pembagian kewenangannya dari 0-12 juta, itu daerah diatas 12 juta kewenangannya ke pusat. Berdasarkan apa bikin regulasi seperti itu?,” ungkapnya.
Ia mengatakan, regulasi tersebut tidak relevan dengan hasil yang diatur Undang-Undang nomor 33 yang baru tahun 2023.
Pasalnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2023, bagi hasil sektor Kelautan dan Perikanan adalah 80 persen untuk daerah dan 20 persen untuk pusat. Namun, 80 persen ini bukan untuk daerah penghasil tapi untuk seluruh daerah yang ada di Indonesia.
“Jadi seperti di rapat Komisi saya sempat kritisi Kementerian Kelautan dan Perikanan, kalau 80 dibagi sama rata ke seluruh Kabupaten/Kota, maka Gunung Kidul dapat, Bogor juga dapat dari kita punya hasil laut. Itu sama saja dengan daerah miskin penghasil subsidi ke daerah kaya. Ini dapat merugikan kita makanya regulasi yang harus diperbaiki,” bebernya.
Srikandi Maluku yang satu ini juga sempat mengucapkan kata-kata Menteri Kelautan dan Perikanan yang bermaksud mengatur laut, zonasi dan kuota lalu diberikan kepada pengusaha-pengusaha besar.
Menurut Saadiah, tujuannya memang bagus yaitu untuk menjaga agar tidak terjadi penangkapan ikan secara berlebihan atau penangkapan ikan secara berlebihan. Namun, bagi nelayan-nelayan daerah, rasanya hal itu tidak adil (adil).
“itu sama saja seperti kapal-kapal di atas 30 Juta harus bagi hasil dengan pemerintah pusat dan yang melakukan penangkapan ikan diatas 12 juta Laut itu urus izinnya harus ke pemerintah pusat. Mengapa tidak diputar balik? karena pembagian daerah penangkapan itu merugikan kita. Laut kita luas namun sangat sulit digunakan sebagai mata pencarian,” paparnya.
Atas dasar itu, Sadiah meminta agar dilakukan survei dan pengkajian terhadap daerah-daerah di sekitar 12 mil itu. Ia memastikan tidak ada lagi sumber perikanan ataupun sumber laut yang ada disitu seperti Ikan, Cumi, Udang dan lain-lain.
“Nelayan harus pergi jauh untuk mendapatkan semua itu. Kalau di atas 12 juta laut kemudian pemerintah mau memaksakan bahwa seluruh urusan harus ke pemerintah pusat, sementara bagi hasil DAU, DAK, dan bagi hasil laut itu 80 banding 20 kayanya tidak adil dan tidak akan bisa mendukung daerah-daerah penghasil dan Maluku sebagai daerah maritim . Ini yang harus diubah,” tandasnya.